Warga Keluhkan Tarif Penyeberangan di Perbatasan Blitar–Malang Dinilai Tak Wajar

beritapolricom

Oktober 9, 2025

4
Min Read

Berita Lainnya

Blitar — Keluhan masyarakat terkait pungutan tarif penyeberangan di wilayah perbatasan Kabupaten Blitar dan Kabupaten Malang kembali mencuat. Melalui unggahan di akun TikTok @gembulnad, seorang warga menyampaikan keresahan atas kebijakan yang dinilai membebani pengguna jalan.

 

Dalam video tersebut, warga itu mengungkapkan bahwa kini masyarakat harus membayar tarif setiap kali melintasi jalan yang dikelola oleh BUMN Jasa Tirta. Padahal, menurutnya, jalan tersebut merupakan jalur umum yang sudah lama digunakan tanpa pungutan apa pun.

 

Ia menegaskan, sebelumnya masyarakat bebas melintas tanpa dikenai biaya tambahan. “Sekarang wajib bayar. Bebaskan bayar upetinya, kami sudah bayar pajak kendaraan. Biarkan kami merdeka dan menikmati jalan tanpa harus bayar up lagi,” ujarnya dalam video tersebut.

 

Kebijakan baru itu disebut-sebut menimbulkan beban ekonomi bagi masyarakat kecil, terutama bagi pengguna sepeda motor yang sering melintas setiap hari. Warga menilai pungutan tersebut tidak seharusnya diberlakukan di jalan umum yang telah menjadi akses utama penghubung antarwilayah.

 

Warga juga menyinggung pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kebijakan itu. Ia mempertanyakan apakah keputusan tarif tersebut datang dari pihak Jasa Tirta, Kementerian BUMN, atau pejabat lain yang memiliki kewenangan.

 

Menurut warga, jalan yang kini dikenakan tarif merupakan jalur besar yang selama ini menjadi akses utama warga menuju daerah lain. “Jalannya besar, tapi dikenakan tarif. Hanya nyebrang saja, padahal ini batas antara Blitar dan Malang,” ucapnya menambahkan.

 

Ia juga menyebut bahwa 15 tahun lalu jalan tersebut belum pernah dikenakan biaya penyeberangan. Namun kini, setelah dikelola oleh BUMN, pengguna jalan harus membayar setiap kali melintas.

 

Warga mengaku heran mengapa jalan umum bisa berubah menjadi area berbayar. Ia menilai langkah ini tidak sejalan dengan semangat pelayanan publik yang seharusnya memudahkan masyarakat, bukan menambah beban biaya transportasi.

 

Keresahan itu semakin besar ketika warga mulai menghitung beban ekonomi akibat pungutan tersebut. Ia memberikan contoh sederhana dengan menghitung pengeluaran pengguna sepeda motor yang sering melewati jalan itu.

 

Menurut perhitungannya, biaya pajak kendaraan bermotor hanya sekitar Rp250 ribu per tahun untuk sepeda motor baru. Namun jika ditambah tarif penyeberangan yang dikenakan setiap kali melintas, jumlahnya jauh lebih besar.

Warga menuturkan, setiap kali menyeberang dikenakan biaya Rp1.000 untuk kendaraan roda dua. Jika seseorang menyeberang setiap hari kerja, maka dalam satu bulan terdapat sekitar 26 hari aktif, belum termasuk hari libur.

 

Dengan demikian, biaya menyeberang pulang-pergi mencapai Rp52.000 per bulan. Bila dikalikan 12 bulan, total pengeluaran bisa mencapai lebih dari Rp600 ribu per tahun hanya untuk melintasi jalan yang sama.

 

Angka itu jauh lebih besar dibandingkan pajak kendaraan tahunan. Warga menyebut, kondisi ini seperti bentuk “upeti modern” yang tidak masuk akal bagi masyarakat kecil.

 

Ia menegaskan bahwa pungutan seperti itu tidak pantas diberlakukan di jalan umum. Menurutnya, jika jalan tersebut merupakan fasilitas publik, maka pemerintah dan BUMN seharusnya memberikan akses gratis kepada masyarakat.

 

“Coba digratiskan jalan ini. Karena jalan umum ini besar, bukan jalan kecil,” tegasnya dalam video tersebut.

 

Selain pengguna sepeda motor, masyarakat yang menggunakan mobil juga terkena dampak. Tarif untuk kendaraan roda empat disebut mencapai Rp3.000 per sekali melintas.

 

Warga menilai, kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat sekitar yang sebagian besar berprofesi sebagai petani, pelajar, dan pekerja harian. “Ini anak-anak sekolah juga ikut bayar, padahal mereka hanya ingin menyeberang untuk belajar,” katanya.

 

Unggahan video itu kemudian ramai dibicarakan warganet yang turut menyuarakan keluhan serupa. Banyak yang menilai, pungutan tersebut seharusnya ditinjau ulang karena tidak sesuai dengan prinsip pelayanan publik.

 

Masyarakat berharap pemerintah pusat maupun Kementerian BUMN segera mengevaluasi kebijakan tarif penyeberangan di bawah pengelolaan Jasa Tirta. Mereka berharap ada solusi yang berpihak pada kepentingan rakyat kecil.

 

Dengan meningkatnya perhatian publik terhadap isu ini, desakan agar jalan di perbatasan Blitar–Malang kembali digratiskan semakin kuat. Masyarakat menunggu langkah nyata dari pihak berwenang agar akses transportasi umum tidak lagi menjadi beban tambahan bagi warga. ***

(Rizki)

 

PILIHAN EDITOR