UU ITE Mengancam Wartawan? Kasus BM Jadi Cermin Buram Penegakan Kebebasan Pers

beritapolricom

Oktober 25, 2025

4
Min Read

Berita Lainnya

PESISIR SELATAN — Pesisir Selatan – Kebebasan pers kembali mendapat ujian. Seorang jurnalis bernama BM di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, mengaku mengalami intimidasi dan upaya kriminalisasi setelah dilaporkan ke pihak kepolisian atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

BM dilaporkan setelah mengunggah sebuah postingan di akun media sosialnya yang menyoroti dugaan kesepakatan antara oknum Ninik Mamak Lunang dengan perusahaan PT Sukses Jaya Wood (SJW), sebuah isu yang dianggap berpotensi merugikan masyarakat adat di wilayah tersebut.

Postingan itu memuat dokumen yang sebelumnya juga menjadi sumber pemberitaan di situs Media Sinar Dunia, yang mengulas konflik tanah masyarakat Lunang dengan perusahaan perkebunan sawit dan kayu seluas sekitar 1.400 hektar.

Pada Kamis kemarin, 23 Oktober 2025, BM dipanggil oleh penyidik Satreskrim Polres Pesisir Selatan, di ruang Tipiter (Tindak Pidana Tertentu), untuk memberikan keterangan terkait unggahannya di Facebook. Hingga kini, ia masih berstatus sebagai saksi.

Dalam keterangannya, BM menjelaskan bahwa unggahan tersebut bukan untuk menyerang pihak mana pun, melainkan sebagai bentuk keterbukaan informasi publik (KIP) dan upaya jurnalis dalam mendorong transparansi.

“Saya hanya ingin masyarakat tahu dan pihak yang terkait bisa memberikan klarifikasi. Tidak ada niat buruk, saya menjalankan tugas sesuai kode etik jurnalistik,” ujar BM kepada wartawan usai pemeriksaan.

Namun, BM mengaku mengalami tekanan dan intimidasi dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atas unggahannya itu. Ia menilai langkah pelaporan ke polisi merupakan bentuk kriminalisasi terhadap jurnalis yang menjalankan fungsi kontrol sosial.

BM menegaskan bahwa dirinya memiliki legalitas sebagai wartawan yang terdaftar di redaksi resmi dan dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Saya ini jurnalis resmi. Apa yang saya tulis adalah bagian dari tugas pers. Kalau setiap upaya pemberitaan dan keterbukaan dianggap melanggar UU ITE, lalu di mana posisi kebebasan pers kita?” tegas BM.

BM berharap aparat penegak hukum dapat menangani kasus ini secara profesional dan tidak berpihak kepada pihak yang memiliki kekuasaan atau uang. Ia juga mengajak masyarakat, sesama jurnalis, dan advokat untuk mengawasi proses hukum yang sedang berjalan.

“Saya meminta teman-teman media dan masyarakat sipil ikut memantau agar tidak ada tekanan politik atau ekonomi di balik kasus ini. Keadilan harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” ujarnya.

Kasus yang dialami BM kembali membuka perdebatan mengenai penggunaan UU ITE terhadap jurnalis yang menjalankan tugas jurnalistiknya. Banyak kalangan menilai UU ITE sering kali disalahgunakan untuk membungkam kritik dan laporan media yang mengungkap persoalan publik.

Pengamat pers menilai, seharusnya laporan yang berkaitan dengan kegiatan jurnalistik diselesaikan melalui mekanisme Dewan Pers, bukan melalui proses pidana. Hal ini sesuai dengan Pasal 15 dan 18 UU Pers, yang menegaskan bahwa sengketa pemberitaan adalah ranah etik, bukan pidana.

Kasus yang menimpa BM langsung mendapat perhatian dari sejumlah pengamat dan praktisi jurnalisme nasional yang menilai bahwa laporan ini berpotensi melanggar prinsip dasar lex specialis UU Pers, yang seharusnya menjadi acuan utama dalam setiap sengketa pemberitaan.

Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., M.A., selaku Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) yang juga alumni Lemhannas RI PPRA 48 tahun 2012, menilai bahwa kasus BM menunjukkan lemahnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap mekanisme penyelesaian sengketa pers.

“Kalau yang dilaporkan adalah karya jurnalistik atau informasi publik, seharusnya diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan pidana UU ITE. Ini kriminalisasi terselubung yang menekan kebebasan pers di daerah,” ujar Wilson.

Bahwa kasus ini mencerminkan ketimpangan posisi jurnalis daerah dalam menghadapi kekuatan politik dan korporasi.

“Kebanyakan jurnalis di daerah bekerja tanpa perlindungan memadai. Ketika mengungkap kasus yang menyentuh kepentingan elit lokal, mereka sering dikriminalisasi. Padahal peran mereka sangat penting bagi transparansi publik,”
bahwa UU ITE tidak boleh digunakan untuk menjerat wartawan selama konteksnya adalah kerja jurnalistik.

“UU Pers bersifat lex specialis. Artinya, hukum pers harus didahulukan. Jika aparat langsung memproses dengan UU ITE tanpa klarifikasi Dewan Pers, itu jelas pelanggaran terhadap semangat kebebasan pers yang dijamin konstitusi,” tutupnya.

Kasus BM menjadi refleksi penting bagi dunia jurnalistik di daerah, khususnya bagi jurnalis independen yang bekerja di lapangan dengan sumber daya terbatas. BM berharap peristiwa yang dialaminya menjadi pelajaran bersama agar semua pihak, baik masyarakat, aparat, maupun korporasi menghormati peran pers sebagai pilar demokrasi.

“Saya berharap tidak ada lagi jurnalis yang dikriminalisasi hanya karena menyuarakan kebenaran. Kami bekerja untuk publik, bukan untuk kepentingan pribadi,” tutup BM dengan nada tegas. (TIM/Mhd)

PILIHAN EDITOR