Kotabaru – Beberapa bulan terakhir, jagat maya kembali heboh dengan kisah Kota Saranjana di Kalimantan Selatan. Disebut-sebut sebagai “kota gaib” yang modern dan gemerlap, Saranjana ramai diperbincangkan, seolah benar-benar ada di Pulau Laut, Kotabaru.
Meski tidak tercatat secara administratif di peta pemerintahan, kisah Saranjana terus hidup dalam imajinasi publik. Mulai dari cerita masyarakat tentang gedung-gedung tinggi, lampu kota, hingga kisah mobil dan alat berat misterius yang dikirim ke “alamat Saranjana”.
Mitos yang Dikelola Jadi Daya Tarik
Indonesia tidak asing dengan cerita mistis yang kemudian berubah menjadi magnet wisata. Kita bisa menengok Lawang Sewu di Semarang, Gunung Salak di Bogor, atau Dieng Plateau di Banjarnegara. Awalnya dikenal dengan kisah mistis, lalu dikelola jadi destinasi wisata budaya dan sejarah.
Narasi Saranjana pun tampaknya bergerak ke arah yang sama. Dari sekadar cerita turun-temurun, mitos ini kini diframing sebagai branding wisata. Video penampakan, foto siluet kota, hingga peta kuno Belanda yang menyebut “Serandjana” digunakan untuk menguatkan cerita.
Framing dan Efek Media Sosial
Era digital memberi ruang luas bagi legenda lokal untuk mendunia. TikTok, Instagram, dan YouTube penuh dengan konten tentang Saranjana: “jalan menuju kota gaib”, “drone menangkap penampakan kota”, hingga kisah horor wisatawan yang “tersesat”.
Cerita-cerita ini bekerja layaknya promosi wisata digital berbasis storytelling. Semakin banyak orang penasaran, semakin besar pula potensi wisata ke Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Suara dari warga lokal
Aminah (48 tahun), warga Kotabaru yang berprofesi sebagai Guru Taman Kanak-kanak saat dikonfirmasi via sambungan telepon mengungkapkan bahwa legenda Saranjana sudah lama hidup di tengah warga Pulau Laut.
“Saya mulai mendengar legenda Saranjana sejak tahun 1995 setelah saya lulus SMA. Foto yang beredar di media sosial kemungkinan itu benar adanya. Namun demikian tidak semua orang bisa masuk ke sana, kecuali orang yang punya indra ke enam,” tuturnya.
Aminah yang semasa SMA pernah satu kelas dengan Imam (jurnalis MDI NEWS) juga tidak membantah jika ada orang yang berpendapat legenda Saranjana sengaja diframing untuk menarik wisatawan lokal maupun luar negeri karena beragam potensi daerah Kalimantan Selatan punya banyak destinasi wisata.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Kalimantan Selatan, Muhammad Syarifuddin, menilai narasi ini bisa menjadi peluang.
“Legenda Saranjana jangan dilihat hanya dari sisi mistis, tapi juga sebagai kekayaan budaya. Dengan pengelolaan yang tepat, ia bisa menjadi daya tarik wisata yang memberi manfaat ekonomi bagi warga lokal,” katanya.
Perspektif Akademisi
Dari sisi budaya, framing mitos menjadi strategi yang lumrah. Prof. Edy Sedyawati (budayawan) pernah menekankan bahwa cerita rakyat adalah “identitas lokal yang bisa diberdayakan untuk pariwisata”.
Dalam teori komunikasi pariwisata, narasi seperti Saranjana berfungsi untuk:
– Membuat branding destinasi unik, berbeda dari daerah lain.
– Menarik wisatawan niche, seperti pecinta wisata horor dan budaya.
– Menghidupkan kembali identitas lokal yang sering terpinggirkan.
Namun, akademisi juga mengingatkan agar jangan sampai mitos dikelola dengan klaim berlebihan atau pseudo-ilmiah yang menyesatkan publik.
Antara Imajinasi dan Ekonomi Lokal
Bagi masyarakat awam, Saranjana adalah kisah misteri yang memicu rasa penasaran. Bagi pemerintah daerah, legenda ini adalah peluang ekonomi wisata. Bagi akademisi, Saranjana adalah teks budaya yang menarik untuk dikaji.
Apapun perspektifnya, viralnya Kota Saranjana menunjukkan bahwa mitos bisa menjadi aset budaya jika dikelola dengan tepat. Ia tidak sekadar cerita gaib, melainkan pintu masuk untuk mengenalkan Kalimantan Selatan ke panggung nasional, bahkan internasional.
Saranjana mungkin memang tidak bisa kita temukan di Google Maps. Tapi dalam lanskap budaya dan pariwisata, ia nyata adanya: sebuah mitos yang diframing, lalu dihidupkan kembali sebagai daya tarik wisata sekaligus identitas lokal.
(Dari berbagai sumber)
Imam Setiadi