Ketua AMBL Kecam Pernyataan Kepala Dinas Kbesbanglinmas Mesuji terkait Tanah Adat Lampung

beritapolricom

Oktober 13, 2025

3
Min Read

Berita Lainnya

 

Lampung — Ketua Umum Angkatan Muda Badik Lampung (AMBL) Kolonel Purn Sukardiansyah dengan tegas mengecam pernyataan Kepala Dinas Kebenaran dan Kesatuan Bangsa serta Perlindungan Masyarakat (Kbesbanglinmas) Kabupaten Mesuji, Taufik Widodo, yang dianggap meremehkan eksistensi tanah hak ulayat adat Suku Lampung. Sukardiansyah menegaskan bahwa pernyataan yang disampaikan oleh Taufik Widodo tersebut sangat menyakiti hati masyarakat Suku Lampung, yang merasa dihina seolah-olah tidak memiliki hak atas tanah leluhur mereka.

“Suku Lampung bukanlah suku yang dijajah. Pernyataan ini sangat menyinggung perasaan kami, seolah-olah kami tidak punya tanah hak ulayat adat, padahal sejak zaman dahulu kami telah memiliki tanah yang kami huni dan pertahankan dengan kearifan lokal,” tegas Sukardiansyah.

Pernyataan tersebut muncul setelah Taufik Widodo menyebutkan bahwa di Lampung tidak ada tanah adat, sebuah klaim yang langsung dibantah oleh tokoh adat Suku Lampung dan masyarakat setempat. Sukardiansyah, mewakili suara masyarakat Lampung, menekankan pentingnya pengakuan atas hak ulayat tanah adat Suku Lampung yang sudah ada sejak zaman dahulu.

Mengapa Tanah Adat Lampung Penting?

Tokoh hukum adat dan hukum agraria, Bapak Lukman Basri, yang juga merupakan alumni STIA LANRI 1982, memberikan pencerahan terkait sejarah tanah adat Suku Lampung. Ia menjelaskan bahwa sejak abad ke-4 Masehi, Suku Lampung telah memiliki peradaban yang maju, tercermin dari aksara Lampung dan perkembangan kerajaan-kerajaan seperti Keratuan Belalau, Keratuan Pemanggilan, dan Keratuan Dipuncak.

“Ulun/Suku Lampung memiliki tanah air yang dikenal dengan nama ‘Bumi Lampung’. Sejak lama kami sudah menghuni wilayah ini, bahkan sebelum era kolonial Belanda. Tanah kami adalah hasil dari sejarah panjang yang tercatat dalam peradaban,” kata Basri.

Basri juga menekankan bahwa hubungan Suku Lampung dengan Kesultanan Banten pada abad ke-16 bukanlah hubungan kolonial, melainkan hubungan perdagangan yang saling menguntungkan, terutama dalam perdagangan lada, yang membuat Suku Lampung kaya raya.

Konflik Tanah di Lampung

Namun, sejarah tanah adat Suku Lampung mengalami perubahan drastis ketika pemerintah kolonial Belanda mulai menguasai tanah-tanah di wilayah Lampung pada abad ke-19. Perusahaan-perusahaan Belanda melakukan eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam Lampung, terutama untuk perkebunan monokultur seperti kopi dan lada, yang mengubah struktur kepemilikan tanah di daerah tersebut.

“Sejak masa penjajahan, kami telah berjuang mempertahankan tanah kami. Namun setelah kemerdekaan Indonesia, masalah pertanahan di Lampung belum sepenuhnya terselesaikan,” jelas Basri. Menurutnya, penerapan UU No. 5/1960 tentang Pertanahan belum memberikan perlindungan maksimal terhadap tanah adat di Lampung.

Tuntutan kepada Pemerintah Daerah

Sebagai respons terhadap pernyataan Kepala Dinas Kbesbanglinmas Mesuji, Sukardiansyah bersama masyarakat Suku Lampung mendesak Gubernur Lampung dan Bupati Mesuji untuk menindak tegas pejabat yang telah merendahkan martabat dan hak-hak masyarakat adat Suku Lampung.

“Kami meminta kepada Gubernur Lampung dan Bupati Mesuji untuk segera mengambil langkah tegas terhadap pejabat yang tidak menghargai kami. Jika tidak, kami akan mengambil tindakan sendiri untuk mempertahankan hak-hak kami,” ujar Sukardiansyah.

Tuntutan ini menjadi bagian dari perjuangan masyarakat Suku Lampung dalam mempertahankan hak ulayat mereka atas tanah dan ruang hidup yang semakin terancam oleh kepentingan luar.

Pernyataan Tentang Tanah Adat: Anti-Pancasila?

Basri menambahkan bahwa jika ada pihak yang menyangkal keberadaan tanah adat di Lampung, maka hal tersebut bisa dianggap sebagai sikap yang bertentangan dengan semangat Pancasila, karena menghormati perbedaan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan) adalah bagian dari prinsip persatuan Indonesia.

“Kami adalah bagian dari Indonesia, kami bangga dengan keberagaman yang ada. Tanah kami adalah tanah yang sah, dan kami meminta pengakuan atas hak kami dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tegas Basri.

Dengan demikian, polemik tentang tanah adat ini menjadi isu yang lebih luas, yang melibatkan hak masyarakat adat untuk mengelola dan mempertahankan tanah leluhur mereka, serta bagaimana negara dan pemerintah daerah seharusnya melindungi hak-hak tersebut.

PILIHAN EDITOR