Korupsi di Indonesia Sudah Menjadi Ekosistem yang Menggurita

beritapolricom

Oktober 13, 2025

2
Min Read

Berita Lainnya

Jakarta—Fenomena korupsi di Indonesia kini bukan sekadar pelanggaran individu, melainkan telah membentuk ekosistem yang menggurita di berbagai lini kehidupan bangsa. Praktiknya berlangsung terstruktur, sistematik, dan masif, melibatkan pejabat publik, pengusaha, birokrat daerah, hingga sektor pendidikan. Senin, 13 Oktober 2025.

 

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, sejak berdiri pada tahun 2004 hingga 2024, lembaga antirasuah ini telah menangani lebih dari 1.300 kasus korupsi, dengan kerugian negara mencapai ratusan triliun rupiah. Sepanjang tahun 2023 saja, tercatat 161 kasus baru, didominasi oleh suap dan pengadaan barang/jasa.

 

Ironisnya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih bertahan di angka 34, jauh di bawah rata-rata global. Sementara Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) yang dirilis BPS tahun 2024 juga menurun dibanding tahun sebelumnya. Data ini menunjukkan menurunnya kesadaran publik dan meningkatnya sikap permisif terhadap praktik korupsi dan nepotisme.

 

Menurut peneliti Universitas Paramadina, Asriana Issa Sofia, akar korupsi di Indonesia tidak hanya pada perilaku individu, melainkan pada lemahnya sistem dan budaya permisif di masyarakat. “Pendidikan antikorupsi harus dihidupkan, bukan sekadar teori di kelas, tapi melalui teladan nyata dalam kehidupan kampus dan pemerintahan,” ujarnya.

 

Senada dengan itu, Prof. Udiansyah dari LLDIKTI (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi) Wilayah XI Kalimantan Selatan menegaskan bahwa pendidikan integritas wajib diterapkan sejak dini. “Tanpa karakter, hukum tak akan berdaya. Korupsi harus dicegah lewat pembentukan moral sejak muda,” tegasnya dalam kegiatan pelatihan antikorupsi bersama KPK.

 

KPK sendiri mengungkap tiga area paling rawan korupsi di perguruan tinggi negeri, yakni pengadaan barang dan jasa, publikasi penelitian, dan pengelolaan keuangan. Kasus pengadaan Chromebook di Kemendikbudristek senilai Rp 9,9 triliun menjadi bukti nyata bahwa korupsi kini menembus sektor pendidikan yang seharusnya menjadi benteng moral bangsa.

 

Para pakar menilai, korupsi yang merajalela ini membentuk “ekosistem terintegrasi” — di mana pelaku saling menopang dan sistem pengawasan internal kerap lemah. Lebih berbahaya lagi, masyarakat perlahan kehilangan sensitivitas moral terhadap penyimpangan tersebut, menganggapnya sebagai bagian dari kebiasaan birokrasi.

 

Untuk memutus rantai korupsi yang menggurita, diperlukan langkah strategis berupa reformasi kelembagaan, transparansi anggaran, penegakan hukum yang konsisten, serta pendidikan karakter yang berkelanjutan. Tanpa itu semua, bangsa ini berisiko menjadikan korupsi bukan lagi kejahatan luar biasa, tetapi bagian dari keseharian sistem pemerintahan.

(Sumber jurnal.kpk.go.id – djkn.kemenkeu.go.id)

 

(Imam Setiadi)

PILIHAN EDITOR