LINGGA — KEPRI — Polemik penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Lingga Tahun Anggaran 2025 semakin mengemuka. Setelah proyek peningkatan infrastruktur Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Lingga senilai Rp2,3 miliar menuai kritik, kini publik kembali dikejutkan dengan ditemukannya proyek serupa.
Investigasi wartawan di lokasi Pelabuhan Jagoh, Kecamatan Singkep Barat, Selasa (23/09/2025), mendapati pengerjaan proyek peningkatan infrastruktur Mako Polres Lingga dengan nilai kontrak Rp.992.853.076,01. Proyek ini dilaksanakan oleh CV Four Brother, dengan konsultan perencana CV Joshwar Engineering dan konsultan pengawas CV Tanjak Teknik. Anggaran tersebut tercatat juga bersumber dari APBD Lingga TA 2025 melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang.
Menanggapi temuan tersebut, ketua Aliansi Jurnalis Online Indonesia (AJOI) Kabupaten Lingga Zulkarnaen, angkat bicara. Ia menilai penggunaan APBD untuk membiayai infrastruktur instansi vertikal seperti Polri dan Kejaksaan adalah bentuk penyimpangan dari ketentuan perundang-undangan.
“APBD itu sejatinya diperuntukkan bagi urusan pemerintahan daerah, bukan untuk membiayai kantor atau markas instansi vertikal. Polri dan Kejaksaan merupakan perangkat pemerintah pusat yang dananya sudah dialokasikan dari APBN. Jika daerah ikut menanggung, berarti ada yang tidak beres dalam pengelolaan anggaran,” tegas Zulkarnaen.
Ia juga mempertanyakan prioritas Pemkab Lingga yang justru mengucurkan dana hampir Rp3,3 miliar untuk dua instansi vertikal, sementara masih banyak kebutuhan mendesak masyarakat yang menanti perhatian.
“Coba kita lihat, infrastruktur dasar masyarakat seperti jalan desa, drainase, hingga fasilitas kesehatan masih jauh dari layak. Tapi pemerintah malah mengalihkan anggaran untuk kantor instansi pusat. Ada apa dengan Pemkab Lingga? Ini harus dijawab secara terbuka,” ujarnya.
Secara hukum, dasar penggunaan APBD telah diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam regulasi tersebut ditegaskan bahwa APBD digunakan untuk membiayai urusan pemerintahan daerah.
Sementara itu, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah memang membuka ruang pemberian hibah kepada instansi vertikal, tetapi dengan syarat ketat: tujuannya harus jelas, mendesak, dan memberi manfaat langsung bagi masyarakat. Hibah pun tidak bisa dalam bentuk pembangunan gedung permanen tanpa persetujuan mekanisme formal.
“Kalau pun daerah ingin membantu, mekanismenya hibah, bukan proyek fisik seperti ini. Itu pun harus melalui pengkajian mendalam dan pertanggungjawaban transparan. Kalau modelnya seperti sekarang, ini rentan jadi temuan aparat penegak hukum sendiri,” tambah Zulkarnaen.
Polemik ini semakin menimbulkan pertanyaan publik tentang konsistensi dan transparansi Pemkab Lingga dalam mengelola keuangan daerah. Di tengah kondisi fiskal daerah yang terbatas, publik menuntut agar pemerintah mengutamakan program yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat ketimbang memperkuat infrastruktur instansi yang secara struktural dibiayai pusat. Ungkap Zulkarnaen.
(Mhd)