Jakarta—Potret kelam dunia pendidikan kembali mencuat ke permukaan. Seorang siswi SMP bernama Gina mengalami perlakuan tidak menyenangkan di lingkungan sekolahnya. Ia menjadi korban bullying hanya karena latar belakang ekonomi keluarganya yang serba kekurangan. Kasus ini viral di media sosial setelah diunggah oleh akun TikTok Xcam News. Rabu, 22 Oktober 2025.
Gina berasal dari keluarga sederhana. Sang ibu bekerja sebagai pemulung sampah dan pengumpul barang bekas untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Penghasilan yang diperoleh pun tidak seberapa, hanya sekitar Rp600.000 per bulan. Uang itu harus dibagi untuk membayar sewa rumah, membeli beras lima kilogram, serta memenuhi kebutuhan hidup enam orang anak.
“Saya bayar rumah sebulan cuma Rp600.000, sisanya buat beli beras 5 kilo, sudah habis. Saya warung cuma Rp300.000, Ibu juga masih punya utang di warung,” tutur sang ibu dengan nada sedih. Ia menambahkan, kondisi ekonomi yang sulit membuat keluarganya harus hidup sangat sederhana tanpa adanya penghasilan tambahan.
Selain menanggung beban ekonomi, sang ibu juga harus menelan kenyataan pahit ketika mengetahui anaknya menjadi bahan olokan teman-temannya di sekolah. “Katanya Gina di sekolahan dibully,” ucapnya lirih. Ia menceritakan bagaimana anaknya sering diejek karena pekerjaan ibunya yang dianggap rendah oleh sebagian orang.
Pihak sekolah kemudian memanggil orang tua Gina untuk membicarakan situasi tersebut. Namun, hasil pertemuan justru menambah luka bagi keluarga itu. Menurut penuturan sang ibu, pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkan Gina dari sekolah. “Kata pihak sekolah, daripada milih satu murid sementara yang lain bubar, ya sudah Gina dikeluarin,” ujarnya.
Mendengar keputusan itu, sang ibu hanya bisa pasrah. Ia tak mampu memprotes atau menuntut keadilan karena keterbatasan ekonomi dan pendidikan. “Ya udahlah, kalau gitu Bu enggak apa-apalah,” katanya dengan penuh keikhlasan. Ia hanya berharap suatu hari nanti anaknya masih bisa melanjutkan pendidikan meski dengan cara lain.
Rencana sementara, sang ibu berkeinginan agar Gina dapat mengikuti program sekolah paket. Ia berharap dengan mengikuti pendidikan nonformal itu, anaknya tetap memiliki kesempatan untuk belajar dan meraih cita-cita. “Nanti kalau ada, ya sekolah paket aja, gratis. Supaya anakku bisa sekolah, bisa jadi orang yang pintar. Mamanya udah enggak bisa baca nulis, anaknya jangan sampai kayak gitu,” ujarnya penuh harap.
Kisah Gina menggambarkan betapa masih adanya ketimpangan sosial yang memengaruhi hak anak dalam memperoleh pendidikan yang layak. Latar belakang ekonomi seharusnya tidak menjadi alasan seorang anak kehilangan hak untuk belajar dan berkembang di lingkungan yang aman serta menghargai perbedaan.
Fenomena ini menyoroti pentingnya peran sekolah dalam membangun budaya pendidikan yang inklusif dan berkeadilan sosial. Sekolah semestinya menjadi tempat perlindungan bagi setiap siswa tanpa memandang status ekonomi atau latar belakang keluarga. Tindakan diskriminatif justru bertentangan dengan semangat pendidikan nasional yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Kisah sedih yang menimpa Gina diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak baik pemerintah, sekolah, maupun masyarakat. Pendidikan sejatinya adalah hak setiap anak bangsa. Tidak seharusnya ada lagi siswa yang kehilangan masa depannya hanya karena miskin atau karena orang tuanya bekerja sebagai pemulung. ***






