Analisis Hukum – Mahkamah Konstitusi (MK) selama dua dekade terakhir dikenal sebagai penjaga kemurnian Undang-Undang Dasar 1945. Julukan The Guardian of the Constitution melekat kuat, menggambarkan peran vitalnya sebagai benteng terakhir keadilan dan penegak konstitusionalitas hukum. Namun, belakangan citra tersebut mulai pudar. Publik menilai MK sedang berada di persimpangan jalan di antara menjaga konstitusi atau melayani kekuasaan.
Salah satu titik balik yang memicu sorotan tajam adalah Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan wakil presiden. Dalam putusan itu, MK mengabulkan sebagian uji materi Pasal 169 huruf (q) UU No. 7 Tahun 2017, yang menetapkan usia minimal calon presiden dan wakil presiden adalah 40 tahun.
Akan tetapi, MK menambahkan tafsir baru: seseorang yang pernah atau sedang menjabat sebagai anggota DPR, DPD, gubernur, atau wali kota tetap dapat mencalonkan diri meski belum mencapai usia tersebut. Putusan ini dianggap sebagian kalangan melampaui kewenangan konstitusional MK, karena bukan sekadar menafsirkan hukum, melainkan menciptakan norma baru.
Menurut Prof. Dr. Muchamad Ali Safa’at, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, langkah MK itu berpotensi mencederai prinsip dasar pembentukan hukum.
“Mahkamah Konstitusi seharusnya menguji norma yang sudah ada, bukan menambah norma baru. Dalam putusan ini, MK justru menciptakan syarat tambahan yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang,” ujarnya.
Putusan tersebut menimbulkan pertanyaan mendasar: masihkah MK berdiri di atas kepentingan konstitusi, atau telah condong pada kepentingan politik tertentu? Karena di tangan sembilan hakim konstitusi-lah, arah demokrasi dan legitimasi hukum suatu bangsa ditentukan.
Bagi banyak pengamat, persoalan yang terjadi bukan semata-mata karena cacat sistem, tetapi karena menurunnya moral dan independensi pejabat di dalamnya. Konstitusi tidak pernah salah; yang kerap khianat justru mereka yang bersumpah menjaganya.
Krisis kepercayaan ini menjadi alarm keras bagi MK untuk melakukan refleksi dan pembenahan internal. Sebab dalam negara demokrasi, tidak ada lembaga yang kebal terhadap kritik rakyat. Mahkamah Konstitusi harus kembali ke jati dirinya dan menjadi penjaga keadilan konstitusional, bukan pelayan kepentingan kekuasaan.
Ketika benteng terakhir penjaga konstitusi mulai retak, maka suara rakyat menjadi semen perekatnya. Karena hanya dengan kesadaran bersama, keadilan dan marwah konstitusi dapat kembali ditegakkan. (Sumber: Prasetya.ub.ac.id, MKRI)